Saat ini Yadi masih duduk di bangku sekolah dasar. Rumah Yadi berada di pelosok di daerah Temanggung. Kampungnya masih tergolong sepi dan masyarakatnya masih kuno.
Mereka masih percaya takhayul, karena itu sering digelar ritual pada hari-hari tertentu. Semua itu sudah mereka lakukan turun-temurun. Istilahnya mereka yang hidup di kampung Yadi masih melestarikan adat peninggalan nenek moyang.
Seperti kepercayaan pada masa lalu, kepercayaan yang tumbuh kembang di sana juga masih sama. Bila ritual-ritual itu tidak dijalankan, sesuatu yang buruk bakal terjadi. Misalnya kekeringan, gagal panen, banyak yang kesurupan juga memakan korban jiwa. Hal itu merupakan tumbal pengganti ritual. Kembali ke cerita Yadi...
Yadi anak keempat dari enam bersaudara. Waktu kelas tiga SD, Yadi hampir saja putus sekolah karena ketiadaan biaya. Itu membuatnya minder karena diolok-olok teman-temannya. Yadi pun mengadu kepada kedua orang tua. Mendengar hal itu, orang tua Yadi tidak marah, malah memberi nasihat penting.
“Sudahlah, tidak apa-apa”, kata ayah Yadi. Semenjak itu, keduanya bekerja mati-matian demi mencukupi biaya hidup dan keperluan sekolah Yadi. Akhirnya, Yadi tidak jadi putus sekolah dan ceria kembali. Ia tak lagi minder.
Ngomong-ngomong soal sekolahan Yadi sangatlah memprihatinkan, banyak genteng yang bocor dan plafon yang sudah rusak. Walaupun begitu animo masyarakat sekitar menyekolahkan anak-anak mereka cukup besar. Sekolah itulah satu-satunya sekolah di kampung itu. Halaman sekolah Yadi lumayan luas tapi berada bersebelahan dengan kuburan. Halaman sekolah itu biasanya digunakan Yadi dan kawan-kawan untuk bermain bola.
Suatu hari, seperti biasa ketika sepulang sekolah, Yadi langsung ganti baju lalu makan. Usai makan Yadi bergegas bermain bersama teman-teman. Saking keasyikan bermain, Yadi dan teman-temannya sampai lupa waktu. Tak terasa waktu sudah Maghrib, namun Yadi tak pedulikan hal itu. Hingga salah satu teman Yadi menendang bola begitu keras. Dan bola yang ditendang itu kesasar ke dalam makam.
Karena takut mengambil bola, semua masuk ke dalam makam ramai-ramai. Mereka semua melihat di pintu makam terdapat gapura yang di atasnya terletak topeng buto dua buah. Satu di sebelah kiri, satu lagi di sebelah kanan. Begitu melihat dua topeng itu, Yadi berteriak-teriak tak jelas. Tampak seperti orang linglung yang tidak sadar dan sangat ketakutan.
Selang beberapa menit kemudian, Yadi pingsan. Kawan-kawannya kebingungan, mereka tak tahu harus berbuat apa. Dua sampai tiga orang bahkan menjadi panik. Sebagian berusaha menolong Yadi. Sisanya melarikan diri minta bantuan. Selang beberapa saat selanjutnya, warga datang berbondong-bondong untuk melihat kondisi Yadi dan menolongnya.
Yadi pun dibawa pulang ke rumahnya. Namun sesampainya di rumah Yadi belum sadarkan diri. Seorang tetangga memanggil Mbah Karmin – orang pintar di kampung situ. Sesampainya Mbah Karmin di rumah Yadi, ubarampe dipersiapkan guna mengobati Yadi.
Ketika perlengkapan siap, Mbah Karmin langsung melakukan ritual. Ia bakar kemenyan. Tetesan kemenyan yang sudah terbakar dicemplungkan ke dalam gelas berisi air putih. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, Mbah Karmin mengusapkan air ke seluruh tubuh Yadi. Ajaib! Yadi langsung sadarkan diri. Orang tua dan beberapa warga langsung menanyai Yadi apa yang telah terjadi.
Yadi menceritakan kejadian yang dialaminya. Ketika ia dan kawan-kawan hendak mengambil bola di dalam kuburan, tiba-tiba topeng buto yang ada di gapura kuburan membesar layaknya ukuran buto ijo sesungguhnya. Habis itu ia tak ingat apa-apa lagi. Padahal kawan-kawan Yadi sendiri tidak mengalami hal serupa.
Mbah Karmin kemudian menjelaskan kalau Yadi telah diganggu makhluk penunggu topeng buto yang berada di gapura kuburan. Makam di tempat itu memang tergolong makam yang sangat keramat. Makam itu juga dihuni oleh tawon setan yang sering menggangu warga di kampung situ.
Setelah mengalami kejadian itu, Yadi tak lagi berani main-main di dekat kuburan itu pada gelap-gelapan. Ia trauma kejadian yang sudah dialaminya itu bakal terulang kembali.
Комментарий
Buto – яв. «великан», антагонист яванского театра ваянг. Topeng buto – маска великана из театра ваянг. Buto Jjo – зеленый великан, у которого при помощи определенных ритуалов просят богатства (pesugihan), взамен на жертвенные подношения.
Tumbal – жертва, приносимая в дар духам (для успешного дела или для предотвращения болезней).
Orang Pinter – буквально «знающий человек», эпитет для лекаря, знахаря (mantri, dukun).
Ubarampe – (яв.) необходимые приготовления для церемонии.
kosa kata
Minder |
cкромный |
diolok-olok |
над ним насмехались |
genteng bocor |
черепица на крыше прохудилась |
Animo |
приподнятое настроение, интерес |
Kesasar |
заблудился |
Gapura |
ритуальные символические ворота, арка |
Linglung |
сошел с ума |
pingsan |
упал в обморок |
dicemplungkan ke |
выскользныл, упал (в воду) |
tawon |
шершень |